Sebaiknya kita tahu (fiksi hukum)
Tentang : Percobaan Tindak Pidana
Pendahuluan
Melihat dan mendegar berita dari TV malam ini, tentang terjadinya peristiwa perampokan uang di bank, namun perampokan uang tidak berhasil karena mendaat perlawanan dari karyawan bank dan yang di ambil perampok malah dompet dokumen, dan kemudian ada pernyataan : karena tidak ada kerugian, maka peristiwanya tidak di proses.
Apakah benar ?
Yuk kita buka buku lagi
Apa yang dimaksud dengan percobaan Tindak pidana ?
Percobaan adalah Poging
Poging dalam konteks hukum pidana berarti percobaan.
Berdasarkan memorie van toelichting, disebutkan bahwa poging tot misdrjif is dan de bengonnen maar niet voltooide uitv oring van hetnisdrijf, of wel door een begin van uiteveoringgeopen baarde wil om een bepaald misdrijf te plegen artinya adalah suatu kehendak seseorang untuk melakukan tindak pidana yang telah nampak terwujud dengan permulaan pelaksanaan tapi belum selesai.
Menurut wirjono prodjodikoro, poging berati suatu usaha mencapat suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Mengenai percobaan tindak pidana ini,
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 69) menjelaskan bahwa undang-undang tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan percobaan itu, tetapi yang diberikan ialah ketentuan mengenai syarat-syarat supaya percobaan pada kejahatan itu dapat dihukum.
R. Soesilo menjelaskan bahwa menurut kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu menuju ke suatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai, akan tetapi tidak selesai.
Misalnya :
– bermaksud membunuh orang, orang yang hendak dibunuh tidak mati;
– hendak mencuri barang, tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Lama
– Mencoba melakukan kejahatan dipidana (Pasal 53)
– Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana (Pasal 54 KUHP)
Lengkapnya
Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru
Pasal 17
(1) Percobaan melakukan Tindak Pidana terjadi jika niat pelaku telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan dari Tindak Pidana yang ditqju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai, tidak mencapai hasil, atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri.
(2) Permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi jika:
a. perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan untuk terjadinya Tindak Pidana; dan
b. perbuatan yang dilakukan langsung berpotensi menimbulkan Tindak Pidana yang dituju.
(3) Pidana untuk percobaan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.
(4) Percobaan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(5) Pidana tambahan untuk percobaan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.
Pasal 18
(l) Percobaan melakukan Tindak Pidana tidak dipidana jika pelaku setelah melakukan permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1):
a. tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela; atau
b. dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tqiuan atau akibat perbuatannya.
(2) Dalam hal percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan mempakan Tindak Pidana tersendiri, pelaku dapat dipertanggungjawabkan untuk Tindak Pidana tersebut.
Pasal 19
Percobaan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II, tidak dipidana.
Beberapa penjelasan dari pasal-pasal tersebut
1. Niat / Kehendak (Voornemen)
Jika mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran pada waktu suatu undang-undang disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan (MvT) WvS Belanda 1886 yang merupakan sumber dari KUHP Indonesia yang berlaku saat ini, disebutkan bahwa sengaja (opzet) berarti :
‘de (bewuste) richting van den will op een bepaald wisdrijf (kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu) (Hamzah, 1991: 84).
Beberapa sarjana beranggapan bahwa niat dalam kaitannya dengan percobaan adalah sama dengan semua bentuk kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan berinsyaf kepastian, dan kesadaran berinsyaf kemungkinan).
Pendapat demikian dianut antara lain oleh D. Hazewinkel-Suringa, van Hammel, van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen.
Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan kehendak atau maksud. Hazeinkel-Suringa mengemukakan bahwa niat adalah kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu yang dikehendaki mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang cara mewujudkannya yaitu akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-reka akan timbul. Maka jika rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai maksud, tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan dalam corak lain (sengaja sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja sebagai
keinsyafan kemungkinan). (Santoso, 2000:153)
Sebagai contoh, dalam suatu niat (kehendak) untuk melakukan pembunuhan dengan memberikan roti yang mengandung racun kepada seseorang. Dalam hal ini termasuk juga keinsyafannya bahwa kemungkinan sekali seluruh penghuni rumah orang yang dikirim roti tersebut ikut menjadi korban. Kemungkinan orang lain ikut menjadi korban termasuk pula apa yang disebut sebagai niat (kehendak) pada syarat percobaan (Loebby Loqman, 1996: 16).
Hal di atas sesuai pula dengan putusan Hoge Raad tanggal 6 Februari 1951, N.J. 1951 No. 475, m.o. B.V.A.R. yang dikenal dengan automobilist-arrest yang pada tingkat kasasi telah menyatakan seorang pengemudi mobil terbukti bersalah telah melakukan suatu percobaan pembunuhan terhadap seorang anggota polisi, yang kasus posisinya adalah sebagai berikut:
Seorang anggota polisi untuk keperluan pemeriksaan telah memerintahkan pengemudi mobil tersebut untuk berhenti. Namun pengemudi itu ternyata tidak mentaati perintah yang diberikan oleh anggota polisi tersebut, bahkan dengan kecepatan yang tinggi mengarahkan mobil yang dikendarainya langsung ke arah anggota polisi tersebut, dan hanya karena anggota polisi tersebut pada saat yang tepat sempat menyelamatkan dirinya dengan melompat ke pinggir, maka terhindarlah ia dari kematian (Lamintang, 1984:519).
Menurut Hazewinkel-Suringa dalam (Loqman, 1996:17) Hoge Raad mempersalahkan pengemudi dengan percobaan pembunuhan, meskipun secara sepintas mungkin tidak ada rencana untuk membunuh anggota polisi itu. Tetapi kemungkinan yang diinsyafi (disadari) dapat diterima juga sebagai niat. Dalam hal ini niat terwujud dalam sengaja bersyarat (dolus eventualis) atau disebut juga dengan sengaja berinsyaf kemungkinan (opzet bij mogelijkheid bewustzinjn).
Berbeda dengan pendapat sarjana lainnya Vos menyatakan bahwa jika niat disamakan dengan kesengajaan, maka niat tersebut hanya merupakan kesengajaan sebagai maksud saja (Loqman, 1995: 16).
Sedangkan Mulyatno memberikan pendapat hubungan niat dan kesengajaan adalah sebagai berikut:
a. Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabila sudah diwujudkan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak timbul, di sinilah niat sepenuhnya menjadi kesengajaan. Sama halnya dalam delik yang telah selesai.
b. Akan tetapi apabila niat itu belum semua diwujudkan menjadi kejahatan, maka niat masih ada dan merupakan sifat bathin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu “subjektif onrechts-element”.
c. Oleh karena niat tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isi niat itu jangan diambil dari isinya kejahatan apabila kejahatan timbul.
Untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi juga sudah ada sejak niat belum diwujudkan menjadi perbuatan (Loqman, 1995 : 17).
Jika diperhatikan ternyata niat (kehendak) yang merupakan salah satu unsur dari percobaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 KUHP, tidak lagi disebutkan secara eksplisit sebagai salah satu unsur dari melakukan percobaan seperti yang diatur dalam Pasal 17 KUHP Baru.
2. Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering)
Permulaan Pelaksanaan Menurut Pasal 53 KUHP dan Pendapat Para Ahli Hukum
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia berada di alam bathiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada di dalam hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat.
Menurut Loebby Loqman, adalah suatu hal yang musykil apabila seseorang akan mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan (1995: 18).
Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).
Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan (Soesilo mempergunakan istilah permulaan perbuatan).
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Dalam hal ini apakah permulaan pelaksanaan harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari niat” ataukah “permulaan pelaksanaan dari kejahatan”.
Menurut Moeljatno, tidak ada keraguan baik menurut MvT maupun pendapat para penulis bahwa permulaan pelaksanaan dalam hal ini adalah merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan (1985:21).
Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara lain:
a. Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan apa yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan);
b. Yang dimaksud dengan voorbereidingshandelingen dengan uitvoeringshandelingen itu adalah tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya;
c. Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang batas-batas antara uitvoeringshandelingen seperti dimaksud di atas (Lamintang, 1984: 528).
Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu adalah terletak diantara voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan). Selanjutnya MvT hanya memberikan pengertian tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya. Sedangkan pengertian dari voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) tidak diberi-kan.
Menurut MvT batas yang tegas antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan oleh wet (Undang-Undang). Persoalan tersebut diserahkan kepada Hakim dan ilmu pengetahuan untuk melaksanakan azas yang ditetapkan dalam undang-undang. (Sudarto dan Wonosutatno, 1987: 17).
KUHP tidak ada menentukan kapankah suatu perbuatan itu merupakan perbuatan persiapan dari kapankah perbuatan itu telah merupakan permulaan pelaksanaan yang merupakan unsur dari delik percobaan. Hal senada juga dikemukakan oleh van Hattum, menurutnya sangat sulit untuk dapat memastikan batas-batas antara tindakan-tindakan persiapan (perbuatan persiapan) dengan tindakan-tindakan pelaksanaan, sebab undangundang sendiri tidak dapat dijadikan pedoman (Lamintang, 1985: 531).
Memang sulit untuk menentukan perbuatan mana dari serangkaian perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan. Berdasarkan MvT hanya dapat diketahui bahwa permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) berada di antara tindakan-tindakan persiapan (uitvoeringshandelingen). Oleh karena itu untuk menentukan perbuatan mana dari serangkaian perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan didasarkan kepada 2 teori yaitu teori subjektif (subjectieve pogingstheori) dan teori objektif (objectieve pogingstheori).
Para penganut paham subjektif menggunakan subjek dari si pelaksanaan sebagai dasar dapat dihukumnya seseorang yang melakukan suatu percobaan, dan oleh karena itulah paham mereka itu disebut sebagai paham subjektif, sedangkan para penganut paham objektif menggunakan tindakan dari si pelaku sebagai dasar peninjauan, dan oleh karena itu paham mereka juga disebut sebagai paham objektif.
Menurut para penganut paham objektif seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum, sedangkan menurut penganut paham subjektif seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu pantas dihukum karena orang tersebut telah menunjukkan perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya (Lamintang, 1984: 531-532).
Sejak seorang mempunyai niat hingga sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan.
Dalam hal ini Loebby Loqman memberikan contoh sebagai berikut:
A mempunyai niat untuk membunuh B. untuk itu ada serangkaian perbuatan yang dilakukannya, yakni:
1. A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol;
2. A mengisi pistol dengan peluru;
3. A membawa pistol tersebut menuju ke rumah B;
4. A membidikkan pistol ke arah B;
5. A menarik pelatuk pistol, akan tetapi tembakannya meleset sehingga B masih hidup.
Dari seluruh rangkaian perbuatan tersebut, perbuatan manakah yang dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan. Apakah perbuatan A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan? Apabila melihat niatnya, memang perbuatan A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol adalah dalam kaitan pelaksanaan niatnya untuk membunuh B. Akan tetapi apakah A pergi ke rumah C sudah dianggap permulaan dari pelaksanaan pembunuhan ?
Contoh lain. P adalah seorang pegawai suatu kantor pos. P berkehendak untuk mencuri pos paket. Untuk itu sewaktu teman-teman sekerjanya pulang P menyelinap dan bersembunyi di kamar kecil. Akan tetapi ternyata kepala kantor P masih belum pulang dan tertangkaplah P. Dari kasus P tersebut, apakah masuknya P ke kamar kecil sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan? (1996: 18-19).
3. Pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku
Menurut KUHP lama
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku.
Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.
Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di dalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain di luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.
Menurut Barda Nawawi Arief tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya penghalang fisik.
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaankeadaan khusus pada objek yang menjadi sasaran.
(Arief, 1984: 15).
Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat dibedakan antara :
a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan; dan
b. Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut. (Arief, 1984: 16).
Adapun maksud dicantumkannya syarat pengunduran secara sukarela menurut Memori Penjelasan (Memorie van Toelichting) tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) adalah untuk :
a. Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan niatnya secara sukarela tidak dapat dihukum. Apabila ia dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat ia masih mempunyai keinginan untuk membatalkan niatnya yang jahat; dan
b. Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang berlangsung (Lamintang, 1984: 545).
Di dalam beberapa literatur yang membahas tentang percobaan ada suatu istilah yang disebut dengan Ondeugelijke Poging.
Ondeugdelijke poging adalah suatu perbuatan meskipun telah ada perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan, akan tetapi oleh karena sesuatu hal, bagaimana perbuatan yang diniatkan itu tidak mungkin akan terlaksana. Dengan kata lain suatu perbuatan yang merupakan percobaan, akan tetapi melihat sifat dari peristiwa itu, tidak mungkin pelaksanaan perbuatan yang diniatkan akan terlaksana sesuai dengan harapannya. (Loqman, 1996: 35).
Ondeug-delijke Poging (percobaan tidak memadai) ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut undang-undang tidak timbul (Arief, 1984:18).
Ada 2 hal yang mengakibatkan tidak sempurnanya percobaan tersebut, pertama karena alat (sarana) yang dipergunakan tidak sempurna dan yang kedua objek (sasaran) tidak sempurna. Masing-masing ketidaksempurnaan itu ada 2 macam, yaitu tidak sempurna secara mutlak (absolut) dan tidak sempurna secara nisbi (relatif).
Loebby Logman (1996: 35) memberikan contoh secara terperinci sebagai
berikut:
1. Ketidaksempurnaan sarana (alat)
a. Ketidaksempurnaan sarana secara mutlak
b. Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi
2. Ketidaksempurnaan sasaran (objek)
a. Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak
b. Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena objeknya, MvT mengemukakan :
Syarat-syarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu di dalam Buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diperlukan adanya objek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka juga tidak ada percobaan (Arief, 1984: 18).
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, MvT membedakan antara :
a. Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai; dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan. Mr.Karni memberi contoh : meracuni dengan air kelapa.
b. Tidak mampu relatif, bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada.
Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan.
Dari apa yang dikemukakan M.v.T di atas terlihat bahwa ketidakmampuan relatif dapat dilihat dari 2 segi:
a. keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan perbuatan.
b. Keadaan tertentu dari orang yang dituju (Arief, 1984: 19).
Menurut KUHP baru
Berdasarkan ketentuan KUHP baru diatur tentang percobaan yang tidak dipidana, yaitu apabila tidak selesainya perbuatan itu atas kemauan (kehendak) pembuat sendiri. Namun jika percobaan itu telah menimbulkan kerugian atau telah merupakan suatu tindak pidana tersendiri, maka tetap dipidana.
Di dalam Pasal 18 KUHP Baru disebutkan bahwa seseorang tidak dapat dihukum karena percobaan melakukan tindak pidana jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela, Selain itu jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat juga tidak dipidana. Namun jika perbuatan permulaan pelaksanaan itu telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Pendapat yang berbeda
Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum.
Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana.
Menurut Loebby Loqman pembedaan antara kejahatan ekonomi dengan pelanggaran ekonomi ditentukan oleh apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, tetapi jika perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran ekonomi (1996:3).
Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5)). (Soesilo, 1980:61).
mohon maaf,
hanya di tulis ulang sebagian, literaturnya banyak…