Bona Fide (dengan itikad baik)

Iktikad baik (good faith / bona fide) adalah sebuah asas hukum dalam hukum perdata yang terkait dengan kejujuran, niat baik, dan ketulusan hati.

In or with good faith; honestly, openly, and sincerely; without deceit or fraud. Truly; actually; without simulation or pretense. Innocently; in the attitude of trust and confidence; without notice of fraud, etc. The phrase “bona fide” is often used ambiguously ; thus, the expression “a bona fide holder for value” may either mean a holder for real value, as opposed to a holder for pretended value, or it may mean a holder for real value without notice of any fraud, etc. Byles, Bills, 121.

Dengan atau dengan itikad baik; jujur, terbuka, dan ikhlas; tanpa penipuan dan penipuan. Sungguh-sungguh; Sebenarnya; tanpa simulasi atau kepura-puraan. Dengan polos; dalam sikap percaya dan yakin; tanpa pemberitahuan adanya penipuan, dll. Ungkapan “bonafide” sering digunakan secara ambigu; dengan demikian, ungkapan “pemegang nilai yang bonafid” dapat berarti pemegang nilai riil, dan bukan pemegang nilai palsu, atau dapat juga berarti pemegang nilai riil tanpa pemberitahuan adanya penipuan, dll. Byles, Bills , 121.

Konsep “iktikad baik” sudah ada dari zaman Romawi Kuno. Dalam hukum internasional, konsep ini pertama kali disebutkan dalam sebuah perjanjian perdamaian antara Prancis dan Spanyol pada tahun 1659 untuk mengakhiri perang yang dimulai dari tahun 1635.

Asas ini sudah ada dan sudah dipakai dalam hukum perjanjian di indonesia, aturannya ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

Pasal 1338
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undangundang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pasal 1339
Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.

dan juga dinyatakan dalam pasal yang lain yaitu sebagaimana :

Pasal 1320
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang

Tidak terpenuhi syarat ke 4 yang merupakan salah satu syarat obyektif, mengakibatkan perjanjian batal demi hukum. Ketentuannya sebagai berikut :

Pasal 1335
Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.

Pasal 1336
Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain yang tidak terlarang selain dan yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah.

Pasal 1337
Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.

Salam Fiksi Hukum, seharusnya kita tahu

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *