Polisi Tidur

Sebaiknya kita tahu (fiksi hukum)

POLISI TIDUR

Istilah yang tidak asing;
Apakah kita (masyarakat) diperbolehkan membuatnya;
Mari kita belajar bersama;

Arti Kata

Jika ditanya asal-usul disebut polisi tidur, ada kemungkinan istilah tersebut mengacu pada istilah yang berasal dari Bahasa Inggris Britania, yakni sleeping policeman. Di mana kata sleeping policeman untuk menggambarkan gundukan yang dipasang di jalan dengan tujuan memperlambat lalu lintas (kendaraan)

Polisi tidur sudah dicatat Abdul Chaer dalam Kamus Idiom Bahasa Indonesia (1984) dan diberi makna “rintangan (berupa permukaan jalan yang ditinggikan) untuk menghambat kecepatan kendaraan”. Jadi, ungkapan polisi tidur pasti sudah ada sebelum tahun 1984.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Pertama (1988) dan Edisi Kedua (1991), polisi tidur belum terdaftar. Polisi tidur mulai diakui dalam KBBI Edisi Ketiga (2001) dan diberi makna “bagian permukaan jalan yang ditinggikan secara melintang untuk menghambat laju kendaraan”.

John M. Echols dan Hassan Shadily mencantumkannya dalam Kamus Indonesia-Inggris Edisi Ketiga (1989) dan memadankannya dengan traffic bump.

A. Teeuw memperkenalkan polisi tidur kepada masyarakat Belanda dalam Kamus Indonesia-Belanda (2002) sebagai verkeersdrempel.

Alan M. Stevens dan A. Ed Schmidgall-Tellings pun mencatat polisi tidur dalam Kamus Lengkap Indonesia-Inggris (2005) dan menginggriskannya menjadi speed trap, traffic bump.

Dalam Kamus Indonesia-Rusia dan Kamus Rusia-Indonesia (ISBN 978-5-9576-0376-4) oleh V.A. Pogadaev yang diterbitkan oleh penerbit “Russky Yazik” di Moskow pada tahun 2008 kata itu dimasukkan untuk pertama kali dengan terjemahan Rusia seperti “спящий полицейский” (spyashy politseisky).

Peraturan

Permenhub No.82 th 2018 jo No. 14 th 2021, ada tiga jenis polisi tidur yang biasa ditemui di Indonesia, di antaranya

adalah speed bump, speed hump dan speed table.

1. Speed bump
Speed Bump adalah alat pembatas kecepatan yang digunakan hanya pada area parkir, jalan privat, atau jalan lingkungan terbatas dengan kecepatan operasional di bawah 10 km/jam.
Berbentuk penampang melintang dengan spesifikasi sebagai berikut:
a. terbuat dari bahan badan jalan, karet, atau bahan lainnya yang memiliki kinerja serupa;
b. ukuran tinggi antara 5 cm s/d 9 cm, lebar total antara 35 cm s/d 39 cm dengan kelandaian paling tinggi 50%; dan
c. kombinasi warna kuning atau putih dan warna hitam berukuran antara 25 cm s/d 50 cm.

2. speed hump
Speed Hump adalah alat pembatas kecepatan yang digunakan hanya pada jalan lokal dan jalan lingkungan dengan kecepatan operasional di bawah 20 km/jam.
Berbentuk penampang melintang dengan spesifikasi sebagai berikut:
a. terbuat dari bahan badan jalan atau bahan lainnya yang memiliki kinerja serupa;
b. ukuran tinggi antara 8 cm s/d 15 cm dan lebar bagian atas antara 30 cm s/d 90 cm dengan kelandaian paling tinggi 15%; dan
c. kombinasi warna kuning atau putih berukuran 20 cm dan warna hitam 30 cm.

3. Speed table.
Speed Table adalah alat pembatas kecepatan yang digunakan pada jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan serta tempat penyeberangan jalan (raised crossing/ raised intersection) dengan kecepatan operasional di bawah 40 km/jam.
Berbentuk penampang melintang dengan spesifikasi:
a. terbuat dari bahan badan jalan atau blok terkunci dengan mutu setara K-300 untuk material permukaan Speed Table;
b. memiliki ukuran tinggi 8 cm s/d 9 cm dan lebar bagian atas 660 cm dengan kelandaian paling tinggi 15%; dan
c. memiliki kombinasi warna kuning atau warna putih berukuran 20 cm dan warna hitam 30 cm.

Yang mempunyai hak dan kewajiban untuk Penempatan dan pemasangan, Pemeliharaan dan Penghapusan adalah :
a. Direktur Jenderal, untuk jalan nasional di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek);
b. Kepala Badan, untuk jalan nasional yang berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek);
c. Gubernur, untuk jalan provinsi;
d. Bupati, untuk jalan kabupaten dan jalan desa; dan
e. Walikota, untuk jalan kota.
f. Penyelenggara jalan tol untuk di jalan tol setelah mendapatkan penetapan Direktur Jenderal.
g. Warga masyarakat dengan ijin Gubernur/Pejabat yang di tunjuk (Perda DKI 8 th 2007)

Sanksi (UULLAJ)

Pasal 274
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(2) Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2).

Pasal 28
(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.
(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).

Pasal 25
(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum
wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
a. Rambu Lalu Lintas;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. alat penerangan Jalan;
e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan
h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.

 

Diterbitkan
Dikategorikan dalam Info

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *